Resesi, Suku Bunga Negatif, dan Zakat Mal
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump agaknya memang ditakdirkan
untuk menjadi pusat kontroversi sekaligus inspirasi dunia. Berkat
kebijakan Trump, warga dunia menjadi semakin akrab dengan kata resesi
ekonomi. Sebagian kalangan menilai, langkah Trump melancarkan perang
dagang dengan China hingga Uni Eropa menjadi biang kerok meningkatnya
risiko resesi global dalam waktu dekat.
Salah satu langkah
kontroversial Trump yang mutakhir adalah perselisihannya dengan Gubernur
Bank Sentral AS (The Federal Reserve) Jerome Powell. Trump meminta The
Fed mengadopsi suku bunga negatif seperti yang sedang diterapkan di
Eurozone dan beberapa negara lain seperti Swiss dan Jepang. Powell
menolak. Trump terus mendesak, hingga pada puncaknya ia mengungkapkan
penyesalannya telah menominasikan Powell sebagai Gubernur The Fed.
Powell tetap bergeming.
Penolakan Powell sebenarnya sangat masuk
akal. Ini karena suku bunga nol atau negatif lazimnya diterapkan dalam
kondisi krisis finansial atau resesi ekonomi yang dalam (Morten Bech dan
Aytek Malkhozov, 2016). Sedangkan, pertumbuhan ekonomi AS cenderung
stabil di kisaran 2%-3% sejak Trump menjabat pada 2017. Namun bagi
Trump, suku bunga negatif tidak hanya obat untuk resesi namun bisa juga
menjadi jurus untuk meningkatkan pertumbuhan lebih tinggi lagi. Untuk
mengelaborasi argumentasi Powell dan Trump ini, kita perlu menilik
bagaimana praktik penerapan suku bunga negatif di kawasan dan negara
yang telah mengadopsinya.
Uni Eropa mengalami tren inflasi
rendah akibat ambruknya Lehmann Brothers yang memicu krisis finansial
global pada 2008. Untuk menstimulus perekonomian, Bank Sentral Eropa
(ECB) terus menurunkan suku bunga acuan hingga ke angka 0% pada 2012.
Penurunan suku bunga terus berlanjut hingga pada Juni 2014. ECB
menerapkan suku bunga negatif untuk menyelamatkan Uni Eropa dari jebakan
deflasi (deflationary spiral). Otoritas yang mengatur mata uang Euro
itu terus menurunkan suku bunga sebanyak 10 basis poin hingga mencapai
-0,50% pada September 2019.
Negara-negara Eropa di luar Eurozone,
seperti Denmark, Swiss dan Swedia turut menerapkan suku bunga negatif
untuk menstimulus perekonomian. Bank Sentral Denmark (Danmarks
Nationalbank) lebih dulu menerapkan konsep ini pada 2012, sebelum ECB.
Swiss dan Swedia kemudian menyusul pada 2015. Negara-negara besar di
Eurozone seperti Jerman dan Perancis punya cara lain untuk
mengartikulasikan kebijakan ECB. Dua negara ini menerbitkan surat utang
negara bertenor 10 tahun dengan suku bunga di bawah 0% alias negatif.
Di
Asia, Jepang menyusul mengadopsi kebijakan moneter ini pada 2016. Bank
Sentral Jepang (BOJ) menurunkan suku bunga ke teritori negatif untuk
mempertahankan kinerja ekspor yang merupakan tulang punggung
perekonomian negara. BOJ berpandangan, suku bunga negatif dapat menahan
tren penguatan mata uang Yen sehingga lebih menguntungkan bagi aktivitas
ekspor.
Meski berbeda-beda dalam motif dan implementasinya, suku
bunga negatif secara garis besar ditujukan untuk mendorong kinerja
sektor riil. Bagi bank komersial, kebijakan ini tidak memberikan pilihan
selain meningkatkan pemberian kredit. Bagi pelaku usaha dan korporasi,
cost of fund menjadi lebih kompetitif untuk melakukan ekspansi bisnis.
Bagi para investor, berinvestasi di instrumen finansial menjadi kurang
menarik dan harus beralih ke sektor riil. Sedangkan bagi masyarakat,
suku bunga negatif mendorong mereka untuk tidak berorientasi menabung
atau menyimpan uang, melainkan membelanjakannya atau berinvestasi.
Dengan mekanisme ini, perekonomian mendapatkan insentif dari segala sisi
untuk bergerak dan tumbuh.
Setelah menerapkan suku bunga negatif
pada 2014, Uni Eropa mengalami pertumbuhan ekonomi positif di level 2%
pada 2016 dan 3% pada 2018, setelah sebelumnya mencatatkan pertumbuhan
negatif pada 2012 dan 2013. Perekonomian Jepang mencatatkan fenomena
serupa. Setelah menerapkan suku bunga negatif pada 2016, pertumbuhan
ekonomi naik ke level 2,4% pada 2018, setelah sebelumnya tercatat
negatif pada 2014.
Keberhasilan negara-negara Eropa dan Jepang
menerapkan suku bunga negatif inilah yang barangkali menarik perhatian
Trump untuk diterapkan di AS. Mengapa disebut keberhasilan? Pada awal
masa penerapannya, para kritikus mengkhawatirkan suku bunga negatif akan
mengakibatkan hiper-inflasi, jatuhnya nilai mata uang dollar AS,
melonjaknya suku bunga jangka panjang, meroketnya harga emas dan
komoditas, dan meningkatnya popularitas mata uang digital sebagai mata
uang baru (Nouriel Roubini, 2016). Hingga saat ini, tidak satupun
kekhawatiran tersebut yang menjadi kenyataan. Menurut pengamatan Bech
dan Malkhozov (2016), kebijakan bunga negatif yang rendah di
negara-negara Eropa, tidak mengakibatkan perubahan yang drastis pada
tingkat bunga riil di pasar modal.
Menilai secara netral atas
berhasil atau tidaknya penerapan suku bunga negatif agaknya lebih tepat
menggunakan pendekatan akademik dan sains. Hanya saja, literatur ilmiah
dan riset ekonomi modern tentang fenomena ini masih terbilang sangat
terbatas. Hal ini dapat dipahami karena suku bunga negatif merupakan
kebijakan moneter inkonvensional yang terbilang baru dan masih bersifat
eksperimentatif. Rujukan konseptual yang mapan terkait hal ini
barangkali justru terdapat dalam konsep yang tergolong sangat klasik,
yakni konsep makroekonomi Islam yang terkandung dalam konsep zakat mal.
Konsep Makroekonomi Zakat Mal
Dari
perspektif ekonomi makro, konsep suku bunga negatif memiliki sejumlah
persamaan dengan konsep zakat mal dalam khazanah hukum dan keilmuan
Islam. Secara garis besar terdapat dua jenis zakat, yaitu zakat fitrah
(jiwa) dan zakat mal (harta). Dalam arti yang luas, zakat mal kemudian
dapat mencakup beberapa jenis zakat lain seperti zakat perniagaan dan
pertanian. Dalam arti yang khusus, zakat mal adalah zakat yang dikenakan
terhadap harta berupa uang atau alat tukar, instrumen keuangan, emas
dan perak. Emas dan perak termasuk objek zakat mal karena merupakan
bagian dari sistem alat tukar, terutama sebelum diperkenalkannya sistem
fiat money beberapa dekade belakangan ini.
Terdapat dua komponen
utama dalam konsep zakat mal, yaitu nishab dan haul. Nishab adalah batas
bawah nominal yang menjadi objek zakat. Para ulama berbeda pendapat
terkait nishab apakah mengikuti benchmark emas (85 gram emas, sekitar Rp
40 juta) atau perak (595 gram perak, sekitar Rp 5 juta). Adapun haul
adalah batas minimal waktu kepemilikan harta, yaitu selama satu tahun.
Dengan kata lain, harta harus dimiliki atau mengendap selama satu tahun
penuh sebelum menjadi objek zakat mal. Masyarakat yang memiliki harta
dengan dua kriteria di atas dalam Islam diwajibkan membayar zakat mal
sebesar 2,5%.
Melalui konsep zakat mal, Islam mendorong
masyarakat lebih berorientasi kepada investasi dan belanja untuk
memberikan stimulus pada perekonomian. Sebaliknya, Islam mengenakan
semacam 'denda sosial' kepada masyarakat yang menyimpan atau
mengendapkan uangnya lebih dari satu tahun dengan membayar zakat 2,5%.
Dalam Q.S. At-Taubah: 34, Allah SWT mengancam orang yang menyimpan emas
dan perak (harta) dengan adzab yang perih. Dalam perspektif Islam, uang
harus berdaya guna dan berkontribusi dalam perekonomian. Uang yang
terlalu banyak terakumulasi dan mengendap dalam simpanan baik di
perbankan maupun di luar perbankan dapat membahayakan perekonomian
secara luas.
Implementasi konsep zakat mal dapat dilakukan secara
fiskal maupun moneter. Secara fiskal bisa dengan mengenakan pajak
terhadap simpanan, baik tabungan maupun deposito. Adapun secara moneter,
bank sentral bisa mengadopsi suku bunga negatif (hingga -2,5% secara
proporsional). Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter juga bisa menjadi
alternatif, yaitu dengan mengadopsi suku bunga acuan 0% serta pengenaan
pajak simpanan sekaligus. Variasi kombinasi fiskal dan moneter dalam
bentuk lainnya juga bisa diformulasikan lebih lanjut sebagai alternatif.
Konteks Indonesia
Sebagai
negara berkembang, struktur ekonomi Indonesia tentu tidak bisa
dibandingkan secara apple to apple dengan struktur di negara maju macam
Swiss dan Jepang. Sehingga, penerapan suku bunga negatif di Indonesia
memiliki risiko dan tantangannya tersendiri. Di sisi lain, sebagai
negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, penerapan konsep
makroekonomi zakat mal di Indonesia juga memiliki keuntungan tersendiri.
Beberapa
tantangan besar yang harus dihadapi antara lain adalah reformasi
struktural dalam sistem keuangan dan ekosistem industri di Indonesia.
Rezim suku bunga rendah atau negatif akan sangat berisiko untuk
diterapkan apabila neraca perdagangan defisit. Suku bunga rendah yang
memungkinkan terjadinya peningkatan suplai uang akan mengakibatkan
inflasi tak terkendali apabila sektor produksi primer dan sekunder gagal
melakukan penyerapan maksimal dengan menghasilkan barang-barang
berkualitas dan berorientasi ekspor. Suku bunga rendah juga bisa
mengakibatkan terjadinya capital outflow apabila tidak dibarengi dengan
kebijakan-kebijakan yang tegas. Terlebih, sebagai negara berkembang,
Indonesia masih memiliki kebutuhan yang besar terhadap aliran modal
asing.
Dari sisi regulasi, Bank Indonesia sebagai otoritas
moneter yang independen juga memiliki keterbatasan dalam mengorkestrasi
perekonomian nasional atau mengimbangi stimulus fiskal ekspansif yang
dikeluarkan pemerintah. Dalam UU Nomor 23/1999 sebagaimana diubah dengan
UU Nomor 03/2004 dan UU Nomor 06/2009, Bank Indonesia hanya diamanatkan
fungsi stabilisasi nilai tukar dan inflasi, tanpa memiliki wewenang
yang kuat untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan
pekerjaan. Hal ini dapat dilihat dari rasio uang beredar dalam arti
luas (broad money/M2) terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia
yang tergolong rendah. Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2018 rasio
Indonesia tercatat 38,8%, jauh lebih rendah dari Malaysia 126,6%,
Singapura 122,7%, Thailand 123,3%, Vietnam 158,3%, rata-rata dunia
124,7%, dan rata-rata negara berpendapatan menengah 128,6%.
Adapun
keuntungan sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim dalam konteks
suku bunga rendah dapat dilihat dari data marginal propensity to save
(MPS) atau average propensity to save (APS) Indonesia yang cenderung
stagnan bahkan mengalami tren penurunan, meskipun program inklusi
keuangan sudah digalakkan beberapa tahun terakhir. Fenomena ini bisa
jadi disebabkan oleh masih sensitifnya sebagian masyarakat Muslim
Indonesia terhadap bunga tabungan bank dan asosiasinya dengan riba. Di
samping itu, Indonesia juga sedang mengalami bonus demografi di mana
penduduk dengan usia produktif mencapai 70 persen populasi pada
2020-2030. Dengan tersedianya angkatan kerja yang melimpah, diharapkan
sektor produksi dapat menghasilkan output yang maksimal ketika terjadi
pelonggaran likuiditas.
Secara garis besar, realitas ekonomi
Indonesia memang belum memungkinkan untuk mengadopsi suku bunga nol atau
negatif. Namun, sebagai sebuah konsep, makroekonomi zakat mal memiliki
potensi dan layak untuk dielaborasi lebih lanjut melalui riset dan
eksperimentasi yang lebih komprehensif oleh para pemangku kepentingan.
Barangkali konsep tersebut, seperti asumsi Trump, memang bisa membawa ke
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Barangkali konsep tersebut
secara jangka panjang bisa membawa Indonesia keluar dari jebakan negara
berpenghasilan menengah (middle income trap). Atau bisa jadi juga malah
sebaliknya. Bagaimanapun, ekonomi adalah rumpun ilmu yang selalu membuka
ruang kemungkinan dan dialektika.
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/opini/20191108171619-14-113856/resesi-suku-bunga-negatif-dan-zakat-mal
Komentar
Posting Komentar